Rabu, 04 Januari 2012

Mengenal Penyakit Hati dan Terapinya

 Kedudukan Hati

Hati selain merupakan salah satu organ internis manusia, juga berfungsi berfungsi sebagai tempat seluruh perasaan jiwa, kekuatan berfikir dan keyakinan. Perasaan cinta, benci, bahagia, gelisah, marah, takabbur, tawadhu, yakin, ragu, iman, kafir dst…(QS. Al-Hajj (22) ayat:  46. Al-Ahzab (33) ayat:4).
Hati sangat menentukan baik dan buruk manusia secara menyeluruh. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad “ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal organ, bila ia baik maka baiklah seluruh jasad manusia itu, dan bila dia rusak, maka rusaklah ia seluruhnya. Ia itu adalah hati (qolbu) dengan demikian menjaga kesehatan hati berarti menjaga manusia secara keseluruhan. Sedangkan membiarkan hati rusak sama dengan merusak manusia itu sendiri.” Hal ini sangatlah rasional mengingat hati adalah tempat bersemayamnya keyakinan dan kepahaman yang akan menentukan visi hidup seorang manusia sumber niat, motivasi, selera dan emosi yang akan mengarahkan amal seseorang dan menentukan mutunya.

Dari sinilah masa depan manusia ditentukan sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Asy-Syu’araa’ ayat 88-89.

يوم لا ينفع مال و لا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم


“Pada hari dimana tiada gunanya lagi harta dan anak, kecuali siapa saja yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat.”

 


Ciri Hati yang Sehat


Rasulullah Saw mengumpamakan hati sebagaimana layaknya sebuah cangkir. Maka cangkir yang terbaik adalah cangkir yang terbaik dan yang paling disukai Allah adalah yang paling bening, paling tipis dan, dan paling kuat. Yang dimaksud dengan bening adalah yang bersih dari noda, sehingga hati menjadi jernih dalam melihat, menimbang dan menilai sebuah masalah. Sedangkan hati yang tipis adalah hati yang lembut, yang memiliki empati, sehingga mudah tersentuh, memiliki kecerdasan emosi, sehingga menjadi sangat terkendali dan jauh dari sifat-sifat kekakuan, kekasaran, kekasaran dan kekerasan. Sementara itu kuat artinya tahan bantingan, tidak mudah retak apalagi pecah. Sehingga yang ada kemudian adalah sifat sabar tangguh, tidak mudah kusut dan menyerah ketika menghadapi ujian, tantangan, dan cobaan.

 

 

Hati yang Sakit


Di dalam al-Qur’an, hati yang sakit dianalogikan beberapa istilah, yaitu buta, keras membatu dan berkarat.

  1. Buta, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 22:46, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami dan mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dada.”
Dalam hal ini hati yang buta artinya hati yang tidak bisa membedakan dan memilah antara yang haq dan yang bathil karena faktor kebodohannya.

  1. Keras membatu, sebagaimana frman Allah dalam Q.S.2:74, “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, atau lebih keras dari itu ……”  atau firman Allah di ayat lain seperti Q.S. 6:43, Q.S.57:16, Q.S.5:13, dalam hal ini hati yang keras senantiasa dicirikan dengan munculnya sifat-sifat tercela seperti ujub, riya’, takabbur, dholim, hasad, dan sejenisnya.

  1. Berkarat, sebagaimana firman Allah di Q.S.83:14, “Sekali-kali tidak (demikian). Bahkan telah menutupi hati mereka karena apa-apa yang mereka kerjakan.” Dengan kata lain kebiasaan buruk mereka telah menjadi penyebab atas rusaknya selera mereka. Sehingga mereka tidak lagi berselera ketika melihat dan mendengar kebaikan, dan sebaliknya mereka malah berselera ketika melihat dan mendengar keburukan. Muncul sifat-sifat nifaq, mengikuti hawa nafsu, mencintai dunia secara berlebihan.


Hakekat Penyakit Hati dan Terapinya


Para ulama menyimpulkan, betapapun penyakit hati itu sangat banyak jenisnya namun pada hakekatnya bermuara pada dua jenis penyakit hati. Yaitu penyakit syubhat dan penyakit syahwat.

Penyakit Syubhat

Penyakit yang disebabkan karena kebodohan, ketidakjelasan, kesalah-fahaman atas kebenaran dan kebatilan. Sehingga dia menjadi tersesat dari jalan yang benar karena kebodohan mereka. Biasanya gejala-gejalanya adalah ketika seseorang malas belajar, sehingga tidak mendapatkan informasi tentang nilai-nilai Islam yang benar, jelas dan menyeluruh. Sehingga sebagai akibatnya gaya hidupnya menjadi instingtif, tidak memiliki standar nilai yang jelas. Orang seperti ini biarpun berkemauan baik tetap saja salah dan tersesat. Sebagaimana Allah mengumpamakan mereka sebagai binatang ternak. “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan untuk isi neraka jahanam dari jin dan manusia disebabkan mereka memiliki  hati tetapi tidak dipakai untuk memahami (ayat-ayat Allah), memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat (ayat-ayat) Allah dan mereka memiliki telinga tetapi tidak dipakai mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, atau lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. 7:179).


Penyakit Syahwat

Dalam banyak kasus, penyakit ini sering menimpa orang yang pintar dan banyak pengetahuannya. Dengan demikian yang diserang penyakit ini adalah kemauan dan emosinya, sehingga lahirlah sosok orang pintar yang berkemauan jelek dikarenakan ilmunya terkalahkan oleh hawa nafsunya. Sebagaimana Allah mencontohkan dalam Q.S. 7:175-176, “Dan bacakanlah kepada mereka tentang orang-orang yang telah Aku berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan, maka jadilah dia orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami akan tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dia akan mengulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, maka dia juga akan menjulurkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”

Penyakit model ini tidak secara cepat menyerang seseorang. Tetapi melalui proses yang lama dan bertahap, melalui kelalaian yang panjang dan kebiasaan buruk yang terus menerus dan lingkungan yang jelek, pada saat yang sama untuk sembuh dari penyakit ini bukan pekerjaan yang mudah.

 

Pencegahan Penyakit Hati


Berbagai penyakit hati dapat dicegah dengan upaya mensucikan hati. Di antara sarana mensucikan hati secara umum adalah sebagai berikut:

1.   Melaksanakan shalat secara benar dan khusyu’.

Shalat adalah sarana terbesar dalam pensucian hati. Ia merupakan sarana sekaligus tujuan, sebab ia adalah bentuk penghambaan total seorang hamba kepada Kholiqnya. Ketika seseorang sedang  berdiri, ruku’, sujud, duduk seakan ia melakukan dialog interaktif kepada Allah, mengadu akan segala kelemahan dan kekerdilannya di hadapan Dzat yang Maha Agung, betapa manusia itu kecil, sangat butuh akan bimbingan Allah SWT.
Firman Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS. Al Mu’munin: 1-2). Fungsi shalat akan efektif bila dilaksanakan dengan benar dan khusyu’, serta berusaha untuk segera melaksanakannya di awal waktu, yakni ketika mendengar adzan.

2.   Zakat dan Infaq.

Berbagai zakat dan infaq fisabilillah juga adalah sarana pensucian hati, sebab tabi’at jiwa itu kikir, yang notabene buruk dan harus dibersihkan dari jiwa.  Firman Allah: “Dan jiwa (manusia) itu menurut tabiatnya kikir” (QS. An Nisa: 128). Namun dalam menukannya tentu harus memperhatikan adab-adab yang telah digariskan oleh Allah SWT, yang di antaranya, Ikhlas karena Allah, bersegera menunaikan kewajiban zakat atau mengeluarkan infaq, tidak mengungkit-ungkit harta yang telah dikerluarkannya, mengharap ampunan dan keberkahan atas rizkinya. Sabda Rasulullah: “Berbahagialah hamba yang berinfak dari harta yang diperolehnya bukan dari maksiat” (HR. Ibnu ‘Addi dan al Bazzar).

3.   Puasa (Shaum).
 Urgensi puasa dalam pensucian hati sangat penting bagi seseorang, sebab di antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. Sedangkan puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk mengendalikan  kedua syahwat tersebut. Jika kesabaran termasuk tanda hati yang bersih maka puasa merupakan pembiasaan hati untuk bersabar dan menahan syahwat.
Puasa juga sebagai sarana pengendalian diri dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah, misal, memprofokasi, memfitnah, dusta (manipulasi), memakan harta secara batil (korupsi), dan membuat makar. Sabda Rasulullah SAW: “Puasa itu tidak lain adalah perisai bagi orang mukmin” (HR. Bukhori dan Muslim).

4.   Haji dan Umroh.

Haji dan umroh adalah pembiasaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai, seperti istislam, taslim, mengerahkan jerih payah jiwa dan harta di ajlan Allah, kerjasama dalam kebaikan, melaksanakan syi’ar-syi’ar ubudiyah kepada Allah, munculnya rasa ukhuwah islamiyah. Semua itu memiliki pengaruh besar dalam rangka mensucikan hati.
Haji yang dilaksanakan dengan penuh ikhlas mengharap ridho Allah, tiada balasannya kecuali memasuki surga Allah. Sabda Rasul SAW: “Haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga.” Dikatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, apa kemabruran haji itu?” Nabi SAW menjawab: “Perkataan yang baik dan memberikan makanan” (HR. Ahmad).

5.   Tilawah Al Qur’an.

Membaca Al Qur’an dapat menghaluskan hati, menerangi hati, menenangkan jiwa, mengenalkan manusia kepada tuntunan-tuntunan Allah yang harus dilaksanakan.
Al Qur’an akan berfungsi sebagai pelita hati secara baik jika dibarengi dengan menghadirkan hati untuk memahami maknanya, mentadaburi artinya dan merenungi kandungannya. Firman Allah: “ ( Al Qur’an ) ini adalah penerangan  bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imron: 138).

6.  Dzikrullah.

Imam Al Ghozali berkata: Katahuilah bahwa orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah (batin), akan mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali dalam pertemuan dengan Allah, dan tidak ada jalan untuk bertemu kepada Allah kecuali dengan kematian hamba dalam keadaan mencintai Allah dan mengenal-Nya. Sesungguhnya cinta dan keakraban tidak akan tercapai kecuali dengan selalu mengingat Allah dan mencintai-Nya.
Biasanya nafsu itu cepat jemu, bosan, pesimis, malas, dan lain-lain makanya dalam berdzikir-pun  harus melakukan kreatifitas dalam arti berganti-ganti suasananya; seperti dalam keadaan berdiri, berjalan, duduk, dan tiduran baik di waktu pagi maupun malam.
Firman Allah: “Dan Sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang, dan pada sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari” (QS. Al Insan: 25-26).

7. Tafakkur.

Allah SWT berfriman: “Dan apakah mareka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah?” (QS. Al ‘Arof: 185).
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau  duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang pencitaan langit dan bumi” (QS. Ali Imron: 190-191)
Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa kesempurnaan akal tidak akan tercapai kecuali dengan bertemunya dzikir dan fikir manusia. Apabila kita telah mengatahui bahwa kesempurnaan hati merupakan kesempurnaan manusia maka kita mengetahui pula bahwa dzikir dan fikir merupakan dua hal yang berpengaruh dalam pensucian jiwa.
Tafakkur adalah kesediaan akal fikiran untuk senantiasa memikirkan akan kebesaran Allah dan ciptaan-Nya, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, kejadian manusia dari setetes air yang hina, kemudian menjadi mulia dan berbagai keajaiban lainnya. Dan hal itu menunjukkan betapa manusia tidak ada apa-apanya, sangat lemah, dan karenanya tidak pantas untuk berbuat sombong dan dzalim di muka bumi.

        Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang hamba maka Dia memperlihatkan kepadanya berbagai aib dirinya. Barangsiapa yang penglihatannya sangat tajam maka ia akan mengetahui berbagai aibnya, dan apabila telah mengetahui berbagai cela dirinya maka ia akan dapat melakukan terapinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu aib diri sendiri. Barangsiapa yang ingin mengetahui aib dirinya maka ada empat jalan:
        Pertama: Hendaklah ia duduk di hadapan seorang ahli agama yang mengetahui berbagai panyakit, dan jeli terhadap berbagai cacat yang tersembunyi, kemudian dia memeberitahukan berbagai aib dirinya dan jalan terapinya. Tetapi keberadaan orang tersebut di zaman sekarang sungguh sulit ditemukan.
        Kedua; Hendaklah ia meminta kepada seorang kawan yang jujur, beragama dan tajam penglihatan menjadi pengawas dirinya untuk memperhatikan berbagai keadaan dan perbuatannya, kemudian menunjukkan kepadanya berbagai akhlak tercela, perbuatan yang tidak baik atau keji.
Umar ra berkata, “Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib diriku”. Umar ra biasa bertanya kepada Salman tentang aib dirinya. Ketika Salman datang kepadanya, Umar bertanya: “Apa yang telah kamu dengar tentang diriku yang tidak kamu sukai?” Salman tidak bersedia mengatakannya tetapi setelah didesak terus oleh Umar akhirnya ia mengatakan, “Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan dua macam kuah dalam satu hidangan, dan engkau punya dua jubah; satu jubah untuk siang hari dan satu jubah lagi untuk malam hari?” Umar bertanya: “Apakah ada lagi yang kamu dengan selain itu?”. Salman menjawab, “Tidak.” Umar ra berkata, “Adapun dua hal itu maka akan saya tinggalkan.”
Umar ra juga bertanya kepada Hudzaifah seraya berkata, “Kamu adalah pemegang rahasia Rasulullah SAW tentang orang-orang munafiq, apakah kamu melihat suatu indikasi kemunafikan dalam diriku?”.
          Ketiga; Hendaklah ia memanfaatkan lisan para musuhnya untuk mengetahui aib dirinya, karena kebencian seseorang akan berani mengungkapkan segala keburukan. Mungkin seseorang bisa lebih banyak mengambil manfaat dari musuh bebuyutan yang menyebutkan aib-aib dirinya ketimbang manfaat dari kawan yang kadang berbasa-basi dengan berbagai pujian tetapi menyembunyikan aib dirinya.
         Keempat; Hendaklah ia bergaul dengan masyarakat, lalu setiap melihat hal-hal yang tercela di tengah kehidupan masyakat, ia berusaha untuk menghindarinya dan melakukan perbuatan yang baik, dan selanjutnya ia berusaha memperbaiki kerusakan dan penyimpangan yang terjadi di lingkungan masyarakat dalam bentuk amal ma’ruf nahi munkar. Dengan cara itu, hatinya akan selalu waspada terhadap berbagai bisikan dan rayuan setan akan selalu menjerumuskannya ke jalan kesesatan.

Pangkal kebaikan dan keburukan bermula dari kalbu (hati). Jika kalbu itu baik, baiklah sikap dan perilakunya, dan jika rusak, maka rusaklah lingkungannya. Sungguh orang-orang yang giat bersusah payah mensucikan hatinya, pastilah Allah akan menuntunnya ke jalan yang diridhoi-Nya, sebaliknya orang yang cuek akan kebersihan hatinya, hati-hatilah sebab kesengsaraan hidup nan abadi telah menantinya. “Sungguh beruntung orang yang selalu mensucikan jiwa, dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS.Asy Syams: 9-10).
Rasulullah Saw mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah agar dibersihkan hati kita dengan do’anya, “Ya Allah, berikanlah ketakwaan ke dalam hatiku dan bersihkanlah hati ini. Engkaulah sebaik-baik yang membersihkannya, Engkaulah pemeliharanya .” (HR. Muslim)
Demikian, semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah Swt sehingga bisa membedakan antara haq dan batil, juga mendapat taufiq-Nya sehingga kita mau dan mampu untuk mengamalkannya. Amiin…!





                        “Perumpamaan yang berzikir dan yang tidak berzikir
                                     seperti orang hidup dan orang mati”
               (H.R. Bukhari Muslim)